Pages

Senin, 28 November 2011

Air Terjun dengan Seribu Keindahan

Hal – hal yang indah itu memang begitu menyenagkan. Membuat diriku kagum akan keindahan yang telah diciptankan Tuhan. Begitu pula dengan tempat yang ku kunjungi ini, salah satu tempat  yang belum pernah aku kunjungi selama ini. Tempatnya begitu indah dengan alamnya yang masih asli, yang masih beberapa orang luar tahu.  Parangloe itu nama tempat yang dikenalkan ke Aku dan teman-teman. Hal itu membuat kami begitu penasaran dengan tempat itu, karena di sana terdapat air terjun yang begitu indah. Kami selalu bertanya – tanya dalam hati dan beberapa kali membayangkan tempat itu sebelum kami berangkat ke sana. Seindah apakah tempat ini ? mungkin pertanyan itu selalu terucap dalam hati kami.

Tepat sore harinya kami sampai di tempat itu, suara gemuruh air terjun terdengar jelas ditelinga kami. Akaibat suara gemuruh itu membuat kami makin penasaran dibuatnya. Sore itu kami tidak langsung ke air terjun, karena hari mulai malam dan kami harus mendirikan tenda. Untungnya di dekat kemah kami ada sungai yang berhubungan langsung ke air terjun itu, sehingga rasa penasaran kami dapat terobati sedikit dengan mandi di sungai tersebut.

Setelah tidur dan istirahat yang cukup, pagi harinya kami langsung berangkat ke air terjun untuk sekalian sarapan pagi. Sesampai di sana kami kagum dengan keindahan air terjun itu. Sejuknya hembusan angin dari air terjun itu. Bebatuanya terlihat begitu rapi tersusun, seperti ada yang menyusunnya. Memang ciptaan Tuhan begitu sempurna dan indah. Kami sendiri bingung, bagaimana tempat ini bisa terbentuk begitu indah.

Puas menikmati keindahnya dengan mata, kami pun bermain air dan berenang. Kami sendri bingung harus mulai darimana menyentuh airnya. Karena setiap dari tempat itu begitu indah. Sampai-sampai salah satu teman kami tertidur di atas batu setelah puas bermain air. Keasikan bermain air kami sendiri lupa untuk sarapan hingga matahari mulai tinggi. Setelah semuanya puas bermain, kami sarapan dan bersiap kembali ke kemah. Seandainya masih bisa belama-lama disini, mungkin hari itu kami tidak pulang. Satu hal yang sangat kami sesalkan, kami lupa bawa kamera untuk mengabadikan semua keindahan tadi. Kami memang membawa kamera Canon 7D (punya Kak Paris), tapi kamera tanpa memori. Lain kali kami kesana lagi, kami harus bawa kamera !

Jumat, 09 September 2011

Semangat Dari Pedesaan

matahari belum menampakkan dirinya

 ayam pun masih belum terdengar suranya

daun - daunan masih terselimuti embun

tetapi di sebuah pedesaan yang sangat kecil telah terlihat beberapa pekerja

rasa ngantuk pun terlihat dari raut wajah mereka

beberapa dari mereka membawa karung yang berisi gabah yang siap dijemur

ada pula yang telah siap dengan cangkulnya untuk menggarap sawah

terlihat jelas pemandangan yang sangat berbeda dengan di kota

udara yang segar menambah semangat mereka untuk bekerja

tetesan - tetesan keringat menggambarkan betapa giatnya mereka

sesekali ada yang menghapus keringat didahinya


matahari yang telah ditunggu akhirnya muncul juga

siap dengan panasnya untuk mengeringkan calon - calon beras

para pekerja telah menghampar gabah yang siap dijemur

pekerjaan mereka pun tidak hanya sampai disitu

mereka juga harus meratakan gabah itu hingga keringnya merata

waktu makan siang pun telah tiba

walau pun lauknya hanya ikan asin dan sayur bening


mereka begitu lahap makan dan sangat menikmatinya

sambil menyuapkan makanan kedalam mulut

mereka asik bercerita dan bercanda untuk melepaskan rasa lelah



Jumat, 15 Juli 2011

Pemburu Dollar di Kotaku

Pekerjaan memang merupakan hal yang bisa dibilang penting bagi hidup kita. Karena dengan kita yang telah mapan dan memiliki sebuah pekerjaan membuat hidup kita menjadi ideal. Kita tidak tergantung lagi kepada orang tua atau keluarga. Lagi pula bila kita menginginkan sesuatu seperti pakaian, kendaran, bahkan rumah, kita dapat membeli dengan hasil keringat kita dan itu merupakan kepuasan sendiri. Biasanya orang tua sering bertanya kepada kita setelah kita lulus SMA kita mau kuliah atau langsung kerja. Itu karena orang tua kita tidak ingin kita menganggur dan ingin kita dapat hidup mandiri. Memang kita ini tanggungan orang tua, tetapi orang tua juga mempunyai batas kemampuan untuk menghidupi kita. Karena beliau tidak akan muda selamanya, pasti akan tua dan tidak sanggup lagi bekerja. Disinilah kita berkewajiban untuk menghidupi orang tua kita.

Kotaku Sangatta merupakan sebuah kota di Kabupaten Kutai Timur yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah terutama batu bara. Perusahaan asing pun banyak berdatangan karena ingin mengelolah batu bara tersebut. Karena pemerintah dan penduduk setempat tidak mampu mengelolahnya, maka perusahaan asing tersebut diizinkan untuk mengelolahnya. Masyarakat pun menyambut dengan gembira, karena mereka dapat bekerja di perusahan - perusahaan asing itu. Walau pun awalnya persahaan sangat sulit mencari orang yang mau bekerja di perusahaan tersebut, kerena upah karyawan pada saat itu masih tergolong sedikit.

Setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya karyawan di perusahan - perusahan telah banyak. orang-orang dari luar Kota Sangatta, luar Pulau Kalimantan, bahkan di luar Indonesia berdatangan untuk mencari pekerjaan di kotaku ini. Kotaku pun sudah tidak seperti dulu lagi yang sangat sepi, tetapi sudah mulai ramai. Orang - orang pun berbondong - bondong untuk melamar jadi karyawan di perusahaan. Tidak memandang gender mau laki-laki maupun wanita diterima bekerja setelah lulus tes. Wanita yang biasanya sering kita lihat hanya di dapur, tetapi wanita-wanita yang bekerja di perusahaan itu membawa mobil truk yang sangat besar seperti yang dibawa para pria. Inilah yang membuatku heran, mobil yang sebesar rumah tingkat dua bahkan tingkat tiga tersebut dapat dikendarai oleh kaum wanita. Sudah pasti mereka seperti itu untuk mengumpulkan uang sebanyak - banyaknya dari hasil penjualan batu bara ke luar negri.

Kamis, 14 Juli 2011

Kecelakaan yang Bodoh

Malam itu aku sedang menjaga toko, karena mace sudah tertidur lelap. Aku merasa sangat bosan dan aku pun sms sahabatku yang bernama Denny Pramana. Dia adalah sahabatku dari masa kecil, sekolah, dan sampai sekarang. Kebetulan Denny sedang tidak kerja, karena dia masuk pagi. Lagi pula beberapa hari ini kami jarang bertemu seperti biasanya.
Aku     : km dmna den ?
Denny  : km dmna ? Aq d angkringan, ada mtor kh ? klo g ada aq jmputi
Aku     : G ada, jmput udh
Denny  : Dmna km
Aku     : D rmh
After incident
Begitulah pesan singkatku sama Denny sebelum kami berangkat ke Angkringan tempat biasanya kami nongkrong kalau malam hari. Dia pun langsung datang menjemputku di rumah.
"Den, bantu dulu aku tutup pintu toko ku." kataku sambil menutup pintu toko dengan kesulitan.
"Iya !" jawab Denny sambil mematikan motor dan turun untuk membantuku.
Setelah lumayan lama, kami berhasil menutup pintu tokoku yang sangat sulit ditutup dan langsung saja kami berangkat tanpa menggunakan helem. Di jalan raya kami tetap saja melanggar aturan dengan berkendara melawan arah, karena memang kelihatan lebih dekat. Kami pun sampai di Angkringan, ternyata teman - teman kami sudah ada duluan di sana. Beberapa menit kami asyik becanda, tertawa, dan bergurau, aku pun sama Denny pamit untuk pulang. Biasanya kami sampai jam 2 di sana, tapi karena Denny besok masuk kerja pagi jadi kami pulang cepat. Sebelum jalan Denny memintaku untuk menemaninya mencari roti. Di perjalan kami lirik kiri kanan  untuk mencari toko yang berjualan roti.

Sambil menyetir motor di sebelah kiri dengan agak pelan, ternyata Denny juga melirik ke sebelah kanan sama seperti aku, karena di daerah sebelah kanan banyak toko. Tiba - tiba "bruaaaak!". Motor Denny pun menabrak sebuah mobil perusahaan yang sedang parkir di sebelah kiri jalan. Kami sangat kaget dan  dengan seketika kami terjatuh saja ke aspal. Beberapa bagian tubuhku lecet kecil dan pinggangku terasa sangat sakit. Saat menabrak aku melihat jelas kepala Denny terbentur sesuatu yang aku kurang tau itu apa. Alhasil motor Denny hancur berat bagian depannya. Motor pun segera dipindahkan ke sebelah warung makan tempat makan yang punya mobil tersebut. Mobil itu juga segera dipindahkan agar tidak memancing keramaian dan kedatangan  polisi. Saat itu perasaanku mulai tidak enak dan penglihatanku mulai kabur. Aku memang selalu begini saat mengalami kecelakaan. Kami bersyukur kalau orang yang mempunyai mobil tersebut tidak marah dan malah menanyakan keadaan kami, lucunya kami sempat ditawari untuk makan karena orang yang punya mobil itu sedang makan.

Sambil kami menenangkan pikiran di warung itu Denny langsung menelpon orang tuanaya. Dengan bergegas Ayah, Ibu, dan adiknya Denny datang menemui kami. Sepertinya bahunya Denny sangat sakit jadi dia langsung saja diantar pulang oleh Ayahnya. Karena lukaku tidak parah, aku mendorong motornya Denny bersama Ibunya sampai dirumahnya.


   


Selasa, 05 Juli 2011

Jejak Pertamaku Ke Ramma’


Matahari  telah terbit, hari ini aku bersama Kak Acho, Mubin, Ikki dan Kak Imam berencana untuk pergi ke Ramma’. Ramma’ merupakan sebuah lembah yang sangat indah dan berada di Lembanna, Malino. Persiapan untuk perjalan kami pun telah kami persiapkan untuk segera begegas berangkat. Ini pengalaman pertamaku mendaki gunung yang berbeda dengan teman-temanku yang lain mereka lebih berpengalaman.  Kami mulai berangkat dari korps (tempat ngumpul di kampus), tetapi kami mampir  FKM (Fakultas Kasehatan Masyarakat) dulu karena disana ada teman-teman yang mau ikut juga bersama kami. Setelah meninggalkan kampus kami pun pergi belanja beberapa bahan yang belum lengkap. Kami pergi belanja ke Carefour, akan tetapi hanya Kak Acho yang masuk dan yang lain menunggu di parkiran. Setelah selesai belanja semua bahan, kami pun bergegas untuk berangkat dan memang saat itu hari sudah siang.  

Selama diperjalanan banyak hambatan yang kami temui, dimulai dari salah satu motor teman kami dari FKM rantainya putus. Perjalan kami pun terhenti sejenak untuk mencari sebuah bengkel. Rantai motor pun  telah selesai diganti kami langsung melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian sendal saya tersangkut disebatang besi di jalan yang sedang tahap perbaikan. Sendalku pun robek seketika, tapi aku sangat bersyukur bukan kakiku yang robek.  Beberapa saat kemudian ban motornya Ikki  yang digunakan Kak Acho pun bocor, jadi kami menghentikan perjalanan lagi. Tapi ketika aku turun dari motor, sialnya aku menginjak sebongkah kotoran sapi  dengan kecerbohanku itu membuat teman-temanku yang lain tertawa terbahak-bahak. Kak Acho pun menyuruh kita berangkat duluan dan dia mencari tempat tambal ban sendiri. Saat diperjalanan ternyata salah satu teman kita dari FKM lupa mengambil tasnya di bengkel pertama tadi. Dia pun pergi  bersama aku untuk mengambil tas itu. Di tengah perjalan kami  ketemu Kak Acho yang sedang menunggu tambal bannya dan aku turun dari motor untuk menemani Kak Acho, agar teman dari FKM ini lebih cepat untuk mengambil tasnya. Setelah ban selesai ditambal aku dan Kak Acho pun bergegas dan menyusul teman-teman yang lain.

Ketika sampai di Malino perasaan dingin pun mulai menghampiriku, aku mulai merasa kedinginan. Maklum ini pertama kalinya aku berkunjung ke Malino. Beberapa menit kemudian sampailah kita di Lembanna, tempat dimana kita memulai sebuah petualangan. Sesampai disana kami bersiap–siap untuk memulai pendakian. Rasa dingin pun bertambah, aku mulai tidak tahan akan dinginnya. Tetapi kata teman-temanku, kalo kita kedinginan bengini baiknya kita jangan diam saja karena itu akan membuat kita lebih merasa kedinginan. Akhirnya aku pun mulai banyak bergerak, melakukan apa saja yang bisa aku lakukan. Memang Lembanna tempat yang paling dingin disana dari pada daerah yang lain di dekatnya.

Hari pun mulai sore, kita telah siap untuk berangkat. Aku berangkat duluan bersama kak Imam, mubin dan Ikki sedangkan Kak Acho berangkat bersama teman-teman FKM belakangan. Saat mulai perjalanan aku pun sangat bersemangat sekali, akan tetapi belum sampai pos pertama aku sudah merasa sangat kelelahan dan kehausan jadi kami berhenti untuk istirahat. Ketika istriahat perasaanku pun mulai tambah capek, seperti telah berlari keliling lapangan bola 5 kali. Sumpah aku sudah tidak sanggup lagi, begitu yang aku katakan kepada teman-temanku, tetapi kata Mubin itu hanya sugesti saja sambil memberikanku semangat kalo aku bisa dan sanggup. Cara itu berhasil membuatku untuk melanjutkan perjalanan. Langkah kaki kami makin lama makin jauh dan makin lama juga makin berat itu membuat kami menjadi tambah haus, hingga akhrinya sampailah kita di sungai pertama. Tetesan keringat kami semua telah terbayar oleh tetesan air pengunungan yang begitu segar. Tak perlu kita mengeluarkan biaya apa pun hanya bermodalkan tenaga dan semangat kami sudah dapat menikmati air pegunungan yang begitu segar. Tak lama kemudian teman-teman dari FKM bersama kak Acho telah menyusul kami, mungkin karena istirahat kami terlalu sering.

Kami berangkat bersama-sama hingga sampai pos pertama. Di pos pertama kami beristirahat dan memebuat kopi. Kopi panas memang paling cocok dengan keadaan sangat dingin. Sebelum berangkat lagi kami mempersiapkan headlamp karena hari mulai gelap. Menurutku ini benar-benar gila, aku baru pertama kesini dan kami menyusuri hutan yang sangat gelap. Tallung mulai dekat tetapi jalanan yang gelap di tambah jalan yang sangat menanjak dan menurun. Hanya akar dan batu yang menjadi tempat pijakan kami, bagaikan anak tangga yang belum tersusun rapi sehingga beberapa dari kita sering terjatuh atau terpeleset. Ribuan bintang menyambut kita dengan cahayanya yang kedap-kedip. Keindahan bintang-bintang ini menjadi saksi bisu bahwa aku sampai disana juga. Awalnya aku mengira ini telah sampai, tetapi kami harus menuruni batu-batuan yang lebih terjal lagi untuk sampai di Ramma’. Walaupun malam Ramma’ telah terlihat jelas di Tallung karena kelihatan banyak cahaya seperti perkampungan dibawah. Ternyata itu kemah-kemah orang yang duluan kesana dari kami. Setelah beristirahat sejenak di Tallung, kami langsung melanjutkan perjalanan dan menuruni tebing – tebing yang sangat curam.

Akhirnya kami pun sampai di Ramma’, dan langsung mendirkan tenda. Ramma’ memeng tempat yang dingin membuat parut kami merasa lapar. Kami pun makan malam setelah beberapa di antara dari kami memasak makan. Setelah makan kami sejenak mengahangatkan tubuh didekat api unggun yang telah dibuat oleh teman – teman kami yang telah sampai terlebih dahulu. Tubuhku pun telah telah terasa hangat dan bergegas pergi ketenda untuk tidur, karena mataku sudah tak sanggup lagi menahan rasa ngantuk. 

Hari mulai pagi, tetapi matahari pun belum menampakkan dirinya, ini disebabkan karena matahari terlindungi oleh tingginya pengunungan dan membuat di daerah sekitarnya sangat dingin. Pagi itu kami telah terbangun, namun kami tidak sanggup untuk membasuh wajah apalagi kalau mau mandi.

Siangnya kami bersiap untuk pulang karena memeng kita rencanya hanya satu hari di sana. Rasanya kurang kalau hanya satu hari apalagi aku baru pertama kalinya ke sana. Mudah – mudahan kalau da kesempatan aku akan pergi ke sana lagi.




Pulau Cangke Kembali Lagi Dengan Ceritanya



Perjalananku ke Pulau Cangke kali ini lebih tambah menyenangkan karena aku berangkat dengan teman – teman yang lebih banyak. Kami berangkat dengan 11 orang antara lain aku sendiri, Kak Madi, Kak Acho, Mubin, Ikki, Rey, Hajir, Vani, Ame’, Endhi , dan Vivi. Pulau Cangke membuatku kangen dengan susananya, dengan keindahannya, dengan kebersihannya, dan jauh dari keramaian. Aku juga tidak memungkirinya kalau aku juga kangen dengan dua sepasang kekasih di sana yaitu Daeng Abu dan Daeng Te’ne. Tanpa kehadiran mereka Pulau Cangke tidak akan seperti sekarang ini. Pulau Cangke akan gundul tanpa adanya pepohonan, sampah – sampah yang di bawa oleh ombak akan menghiasinya, dan mungkin tidak ada yang akan berkunjung kesana. Beberapa bulan setelah aku dari sana dan kembali lagi, Pulau Cangke tetap saja terlihat indah dengan putihnya pasir dan jernihnya air laut. Tak heran banayak orang yang pernah kesana, pasti mereka akan ingin kembali lagi kesana.  


Kami berangkat dari rumah Hajir dengan menggunakan angkot ke Pottere’. Kemudian dari Pottere’ kami menggunakan sebuah kapal kayu bermotor yang kecil. Kira – kira hampir 2 jam kami menunggu di kapal kayu tersebut untuk berangakat karena masih menunggu beberapa penumpang lagi. Dengan bau di Pottere’ yang sangat tidak sedap, kami tetap bersabar menunggu, membuktikan bahwa kami ini sekali ke Pulau Cangke dan beberapa  teman lain yang belum pernah kesana penasaran akan keindahanya.

Mesin kapal telah dinyalakan dan kapal pun siapa untuk berangkat, tetapi beberapa dari kami harus berada di dalam kapal agar kapal tidak terlalu goyang, termasuk aku, Kak Madi, Vani, Ame’, Endhi, dan Vivi. Suara mesin kapal yang sangat berisik memebuat kami yang di dalam merasakan hal yang kurang menyenangkan. Ditengah perjalanan ombak bertambah besar dan kapal juga bertambah goyang membuat temanku Vani mabuk laut. Dia merasakan pusing dan hampir mau muntah, tetapi dia langsung berbaring dan tertidur lumayan lama dari pada yang lain.


Setelah perjalan yang lumayan jauh kapal pun mampir di Pulau Karanrang untuk menurunkan beberapa penumpang . Akhrinya kami yang di dalam kapal pindah ke atas kapal dan bergabung dengan teman – teman yang lain. Pulau Cangke terlihat samar – samar dari kejauhan yang membuat kami bersemangat lagi. Makin lama keindahan Pulau Cangke makin terlihat di tambah lagi dengan matahari terbenam dan membuat langit menjadi berwarna orange yang sangat indah seakan turut menyambut kedatangan kami. Dengan begitu sudah terbayarlah semua pengorbanan kami selama diperjalan yang kurang menyenangkan. Mungkin baru kali ini aku melihat matahari terbenam seindah ini tanpa tertutupi awan sedikit pun. Aku terus melihat matahari itu sampai tidak terlihat lagi.   


Akhirnya kami semua sampai dengan selamat di Pulau Cangke, tapi sayang kita semua belum dapat melihat keindahan Pulau Cangke yang sebenarnya karena hari mulai gelap. Beberapa dari kami mendirikan tenda sedangkan yang lainnya menyaiapkan makan malam. Setelah makan malam kita semua menghabiskan malam di tepi pantai dan ditemani jutaan bintang yang kedap – kedip. Sambil menghangatkan badan di dekat api unngun buatan Ikki, kita semua bernyanyi dengan petikan gitarnya Kak Madi. Kebetulan malam itu dingin sekali, sehingga kita mengurungkan niat untuk berendam di laut.


Pagi harinya beberapa dari kami bangun pagi untuk melihat mathari terbit dan ternyata matahari belum juga terlihat karena tertutup awan. Setelah itu kami pun mempersiapkan sarapan pagi. Perut kami pun telah terisi, jadi kami langsung saja berendam ke laut. Pagi hari hingga siang kami menghabiskan waktu di laut untuk berenang dan berjemur, karena katanya matahri pagi itu baik untuk kesehatan.


Matahari mulai tinggi tapi cuaca tidak panas karena sepertinya mau hujan. Setelah puas berendam dan bereng di laut Aku, Mubin, dan Ame’ meminjam perahu Daeng Abu. Dengan senang hati Daeng Abu meminjamkan perahunya yang seharga sekitar 40 jutaan. Kami bertiga pun naik ke perahu dan mendanyungnya agak ketengah laut. Sesekali perahu hanya jalan berputar – putar karena mungkin kita mendayungnya kurang kompak atau mungkin juga kita belum terbiasa mendayung. Perahu pun mulai agak ketengah laut dan tiba-tiba saja perahu itu terbalik ke kiri, kita bertiga pun kaget dan jatuh kelaut. Sambil tertawa kita membalik kembali perahu itu dan membuang air yang ada di lambung perahu. Waktu itu kami sangat bersyukur sekali, karena perahu itu tidak terbalik di atas puluhan bulu babi yang berdada di depan kami. Inilah salah satu pengalaman kami di Pulau Cangke dan menurutku itu konyol.

Hari mulai sore kami pun mencari botol untuk membuat akuarium kecil. Kami saling bersaing untuk membuat akuarium kecil yang paling bagus. Rey sekali pun yang orangnya dibilang paling malas diantar kami, dia pun sangat bersemangat mengumpulkan kerang yang kecil –kecil dan terumbu karang yang telah hancur akibat ulah manusia yang tidak bertanggu jawab.  

Setelah kami sudah merasa leleh, kami pun foto-foto sambil menikmati matahari terbenam. Memang Pulau Cangke tempat yang indah, jauh dari keramaian, dan semuanya masih alami. Inilah yang membuatku rindu akan tempat ini dan tidak membuat bosan buatku.

Jumat, 03 Juni 2011

Inspired by an Island

Awalnya buat aku menulis itu sesuatu yang sangat menakutkan karena setiap kali aku disuruh menulis, aku bingung apa yang hendak aku tulis. Semasa SMA aku salah satu orang yang paling anti anti dengan menulis atau tulisan, sama seperti teman-teman SMA ku yang lain. Mungkin aku malas menulis karena pengaruh teman-temanku yang malas menulis juga. Masa SMA membuatku jauh dari goresan pena dan juga jauh dari buku. Aku termasuk orang yang pemalas dalam hal apapun kecuali untuk jalan dan untuk bersenang-senang. Dari dulu aku selalu menjauhi apapun yang berbau dengan tulisan. Akhirnya, beginilah aku,kosa kata kurang, apalagi pengetahuan. Berfikir untuk menulis sebuah cerpen, puisi, pantun, apalagi novel tak pernah terlintas dibayanganku untuk membuatnya.


Setelah Aku lulus SMA, aku melanjutkan sekolahku ke Makassar tepatnya di Universitas Hasanuddin. Aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena menurutku itu menarik. Setelah aku masuk kuliah, ternyata ilmu komunikasi itu menuntutku untuk menulis dan membaca. Mulai saat itu aku berfikir bagaimana caranya aku tertarik untuk menulis dan membaca. Walaupun begitu, akhirnya aku mulai tertarik untuk menulis, tetapi tetap saja Aku belum menulis. Aku memang pengen menulis tetapi aku belum juga menulis.


Suatu hari Aku diajak teman-teman dari GCC untuk berkunjung di sebuh pulau, yaitu Pulau Cangke. Waktu itu aku juga tertarik ikut karena sebelumnya Aku belum pernah ke Pulau. Hari itu Aku bersama teman-teman kami bersiap-siap berangkat ke Pulau Cangke. Kami telah mempersiapkan barang-barang yang kita mau bawa. dan kami telah siap untuk berangkat ke Pottere. Setelah sampai di Pottere, kami menggunakan sebuah perahu bermesin untuk mengarungi lautan hingga sampai ke Pulau Cangke.


Pulau Cangke pun makin lama makin dekat, keindahannya juga mulai terlihat. Baru kali ini aku benar-benar menikmati keindahan alam yang telah dicipta Sang Pencipta untuk kita semua. Tetapi kenapa ada saja manusia yang merusak keindahan itu. Merusak lalu mengambil isinya tanpa memikirkan keberlangsungan ekosistem di dalamnya. Sungguh sangat disayangkan, Tuhan telah menciptakan keindahan, tetapi ada saja yang mau merusaknya.


Sesampainya di Pulau, kami hanya mendengarkan suara angin, suara ombak, suara tumbuhan yang menari-nari, dan beberapa suara kapal yang lewat. Suasana ini membuatku sangat tenang, tentram, dan damai yang jarang sekali aku mendapatkan hal yang seperti ini. Kami jauh dari suara kendaraan, keramaian, masalah tugas kuliah, dan masalah para pejabat yang karupsi tanpa memikirkan rakyatnya sedikitpun. Mereka hanya berfikir bagaimana caranya untuk memperkaya diri, bukan berfikir bagaimana untuk mensejahterakan rakyatnya.


Setelah beberapa saat menikmati keindahan pulau Cangke, kami pun segera mencari lokasi untuk membuat tenda. Kegiatan kita di sana hanya untuk bersenang-senang, mempelajari sebuah kehidupan, dan menikmati keindahan pulau.


Waktu dua hari telah kita lalui dan akhirnya kita pulang kembali ke Makassar. Perjalananku kali ini membuatku ingin bercerita banyak tentang pulau itu, sampai-sampai Aku ingin sekali mengabadikan ceritaku ini. Dari sinilah aku berfikir bagaimana caraku untuk memindahkan ceritaku itu ke sebuah tulisan.


Akhirnya tulisanku telah selesai dan langsung saya posting di blog GCC. Pastinya Aku juga posting ke blogku sendiri yang belum ada tulisannya.


Beberapa hari kemudian banyak yang membaca tulisanku itu, termasuk senior-seniorku di kampus. Mereka sangat mendukung hal positif yang akau lakukan ini dan memberikan motivasi.
Mulai saat itu aku mulai menulis dan berfikir kenapa harus takut menulis.

Jung Muhammad As’ad R
Jl.Sepakat No.73, tanggal 27 mei 2011

Kamis, 19 Mei 2011

Sepasang Romeo Dan Juliet Di Pulau Cangke

keluarga besar Daeng Abu (bede')
Sore hari menjelang ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di sebuah pulau kecil di Desa Mattiro Dolangeng, Kec. Liukang Tuppabiring, Kab. Pangkep, sekitar dua setengah jam perjalanan dari pelabuhan Pottere’ Kota Makassar dengan menggunakan perahu bermesin. Semakin mendekati Pulau Cangke, semakin kagum pula aku dengan akan keindahannya. Ketika kami tiba disana dan menginjakkan kakiku di pasirnya yang putih bersih membuat hatiku terasa tentram dan damai. Di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan lepas, pohon pinus tumbuh sempurna di atas pasir, menari indah terhembus semilir angin, dan ikan-ikan karang bermain-main di antara lautan luas seakan menyambut kedatangan kami yang telah lelah selama perjalanan. Cangke merupakan tempat terindah yang pernah aku kunjungi sehingga membuat aku ingin berlama-lama disana. Pulau yang indah menghadang lautan lepas ini menyimpan sebuah cerita kehidupan. Tentang sepasang manusia yang teguh menjaga nilai kesetiaan. Daeng Abu dan Daeng Te’ne telah hidup bersama selama kurang lebih 40 tahun lamanya. Sebuah kisah kehidupan yang perlu kita pelajari tentang sebuah adaptasi antara manusia dengan alam beserta lautan, terhadap nilai sebuah keluarga, terhadap nilai-nilai dasar manusia, antara kasih sayang, perhatian, kesetiaan, tanggung jawab, bahkan cinta. Kisah ini berasal dari ketika Daeng Abu disuruh oleh dinas kelautan untuk menjaga Pulau Cangke sejak tahun 1972. Beliau berasal dari Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, saat itu beliau masih sangat muda dan dan teleh bersama Daeng Te’ne istrinya. Beliau sekaligus sosok pria yang sangat aku kagumi bahkan mungkin buat orang-orang yang mengenal beliau. Beliau bukan kepala desa, kepala camat, bupati, atau pun persiden yang memiliki kekuasaan, bukan artis yang pandai berakting, bukan penyanyi yang suaranya merdu, bukan olahragawan yang berprestasi, bukan pula pejabat negara yang menari-nari diatas penderitaan rakyatnya. Tetapi beliau adalah seorang yang ramah, baik, humoris, dan yang paling penting beliau sangat mencintai dan peduli akan kelestarian alam yang telah diberikan Tuhan.

Saat–saat pertama mereka pindah kepulau, mereka melalui masa–masa yang sulit. Bayangkan saja mereka kesulitan mendapatkan air tawar, tidak ada listrik, dan bahkan untuk menanam sayuran pun tidak bisa karena tidak ada tanah, hanya pasir yang tertutup rerumputan liar. Akan tetapi mereka tidak putus asa.
Suatu ketika Daeng Abu mengalami kebutaan karena waktu itu beliau menolong seseorang untuk diambilkan jangkar di dasar laut dan mata beliau waktu itu sedang sakit, setelah beliau keluar dari air, tiba–tiba penglihatan beliau kabur dan mengalami kebutaan. Akan tetapi beliau selalu menemani istri tercintanya mencari ikan ketengah laut. Daeng Abu dan Daeng Te’ne setiap hari dengan pergi mencari ikan, cumi-cumi atau pun sejenisnya untuk memenuhi hidupnya. Ketika mereka mencari ikan, mereka tidak menangkap ikan yang berlebihan, hanya seperlunya saja untuk langsung dimasak atau digoreng maupun dijadikan ikan kering, tidak seperti kapal pukat harimau yang mengambil ikan dari ikan yang sangat kecil sampai ikan yang besar dan menurutku itu sangat berlebihan yang dapat merusak ekosistem laut.

Lautan memang bentangan air tanpa pemilik, mereka yang hidup dari makan ikan tak akan pernah kelaparan saat samudera begitu penuh berisi ikan. Tapi bangsa penjarah tak pernah puas. Kita, tak pernah cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan kita akan pangan.
Kapal-kapal pukat harimau berlomba menangkap ikan sebanyak mungkin untuk memenuhi dompet-dompet mereka dengan uang, nelayan-nelayan kecil yang tersingkir oleh penjarahan kapal-kapal besar, mereka menggunakan bom-bom ikan yang merusak dan membunuh semua makhluk yang berada dalam jangkauan ledakan tanpa toleransi.

Selain menjaga pulau beliau pun merawat. Awalnya, Pulau Cangke masih kering kerontang. Hatinya terasa tak tega melihat kondisi alam yang rusak itu. Beliau pun mulai menanaminya dengan pohon pinus dan berbagai tumbuhan hijau lain. Hasilnya, kini setelah 40 tahun, Pulau Cangke telah berubah menjadi satu pulau yang hijau, bak hutan kecil di tengah laut. Beliau pun juga turut membantu ketika penyu-penyu bertelur. Telur penyu menetas saat berumur 47 hari dan setiap penyu bertelur paling sedikit 130 butir telur. Dari setiap penetasan telur penyu Daeng Abu hanya mendapatkan 300 ribu untuk semua lubang telur penyu dari pemerintah. Sebenarnya pemerintah memberikan 10 ribu perlubang. Beliau mengetahui kapan penyu – penyu itu bertelur ketika ada sisik – sisik penyu itu dipasir. Setiap bertelur induk penyu ditangkap oleh pukat harimau yang tidak bertanggung jawab, dan hanya mementingkan keuntungan pribadi.

Satu lagi kemampuan yang aku bisa banggakan dari beliau, beliau menguasai tiga bahasa yaitu: bahasa Makassar, bahasa Bugis, dan bahasa Indonesia. Dengan kemampuan itu beliau dapat berinteraksi kepada siapa saja yang mampir di pulau itu baik mahasiswa mau pun masyarakat sekitar.
makanan kita disana, asik kan ?
Awalnya beliau mempunyai 6 orang anak, tetapi tuhan berkhendak lain. Hanya anak yang kelima masih hidup, anak yang lainnya telah meninggal dunia disebabkan oleh penyakit. Namun begitu, semangat untuk melestariakan Pulau Cangke tak pernah berkurang. Anak kelima beliau yang masih hidup bernama Pak Sakka dan sekarang bertempat tinggal di Pulau Pala yang tidak jauh dari Pulau Cangke. Pak Sakka menikah sejak dia berumur 11 tahun dikarenakan Daeng Abu telah membuatkan rumah untuk Pak Sakka.

Dulu aku kira Romeo dan Juliet pasangan paling romantis di dunia ini, tapi ternyata aku salah besar. Aku baru menyadari sejak aku mengenal pulau itu, mengenal Daeng Abu dan Daeng Te’ne bahwa mereka adalah pasangan paling sempurna di dunia yang pernah aku temui. Daeng Abu tak perlu bunga, coklat, atau perhiasan untuk meluluhkan hati Daeng Te’na, tetapi hanya gubuk kecil dan sebuah perahu. Walau hanya begitu mereka mampu hidup bersama selama 40 tahun. Dengan keadaan Daeng Abu yang tidak dapat melihat lagi, Daeng Te’na dengan setia menemaninya. Saat Daeng Abu mau merokok, Daeng Te’na membakarkan sebatang rokok. Tidak hanya sampi disitu saja, Daeng Te’na tetap disitu dan menjaga agar abu rokok yang jatuh itu tidak membakar sarung Daeng Abu. Sungguh itu pemandangan yang paling membuatku bahagia dan terharu. Mulai saat itu aku tidak akan berfikir untuk menjadi yang romantis, karena aku tidak akan bisa seperti mereka.

Hari terakhir aku dan teman-teman disana adalah hari yang menyedihkan karena harus bepisah dengan sapasang Romeo dan Juliet di Pulau Cangke. Tetesan air mata Daeng Abu membuat hatiku sangat berat untuk meninggalkan pulau itu. Aku telah benar-benar jatuh cinta kepada mereka. Saat perjalanan pulang sampai sekarang pun aku selalu bertanya-tanya kapan aku akan kembali lagi kesana dan melihat meraka.

By Jung Muhammad As'ad Ramlan
Ilmu Komunikasi
Universitas Hasanuddin