keluarga besar Daeng Abu (bede') |
Sore hari menjelang ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di sebuah pulau kecil di Desa Mattiro Dolangeng, Kec. Liukang Tuppabiring, Kab. Pangkep, sekitar dua setengah jam perjalanan dari pelabuhan Pottere’ Kota Makassar dengan menggunakan perahu bermesin. Semakin mendekati Pulau Cangke, semakin kagum pula aku dengan akan keindahannya. Ketika kami tiba disana dan menginjakkan kakiku di pasirnya yang putih bersih membuat hatiku terasa tentram dan damai. Di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan lepas, pohon pinus tumbuh sempurna di atas pasir, menari indah terhembus semilir angin, dan ikan-ikan karang bermain-main di antara lautan luas seakan menyambut kedatangan kami yang telah lelah selama perjalanan. Cangke merupakan tempat terindah yang pernah aku kunjungi sehingga membuat aku ingin berlama-lama disana. Pulau yang indah menghadang lautan lepas ini menyimpan sebuah cerita kehidupan. Tentang sepasang manusia yang teguh menjaga nilai kesetiaan. Daeng Abu dan Daeng Te’ne telah hidup bersama selama kurang lebih 40 tahun lamanya. Sebuah kisah kehidupan yang perlu kita pelajari tentang sebuah adaptasi antara manusia dengan alam beserta lautan, terhadap nilai sebuah keluarga, terhadap nilai-nilai dasar manusia, antara kasih sayang, perhatian, kesetiaan, tanggung jawab, bahkan cinta. Kisah ini berasal dari ketika Daeng Abu disuruh oleh dinas kelautan untuk menjaga Pulau Cangke sejak tahun 1972. Beliau berasal dari Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, saat itu beliau masih sangat muda dan dan teleh bersama Daeng Te’ne istrinya. Beliau sekaligus sosok pria yang sangat aku kagumi bahkan mungkin buat orang-orang yang mengenal beliau. Beliau bukan kepala desa, kepala camat, bupati, atau pun persiden yang memiliki kekuasaan, bukan artis yang pandai berakting, bukan penyanyi yang suaranya merdu, bukan olahragawan yang berprestasi, bukan pula pejabat negara yang menari-nari diatas penderitaan rakyatnya. Tetapi beliau adalah seorang yang ramah, baik, humoris, dan yang paling penting beliau sangat mencintai dan peduli akan kelestarian alam yang telah diberikan Tuhan.
Saat–saat pertama mereka pindah kepulau, mereka melalui masa–masa yang sulit. Bayangkan saja mereka kesulitan mendapatkan air tawar, tidak ada listrik, dan bahkan untuk menanam sayuran pun tidak bisa karena tidak ada tanah, hanya pasir yang tertutup rerumputan liar. Akan tetapi mereka tidak putus asa.
Suatu ketika Daeng Abu mengalami kebutaan karena waktu itu beliau menolong seseorang untuk diambilkan jangkar di dasar laut dan mata beliau waktu itu sedang sakit, setelah beliau keluar dari air, tiba–tiba penglihatan beliau kabur dan mengalami kebutaan. Akan tetapi beliau selalu menemani istri tercintanya mencari ikan ketengah laut. Daeng Abu dan Daeng Te’ne setiap hari dengan pergi mencari ikan, cumi-cumi atau pun sejenisnya untuk memenuhi hidupnya. Ketika mereka mencari ikan, mereka tidak menangkap ikan yang berlebihan, hanya seperlunya saja untuk langsung dimasak atau digoreng maupun dijadikan ikan kering, tidak seperti kapal pukat harimau yang mengambil ikan dari ikan yang sangat kecil sampai ikan yang besar dan menurutku itu sangat berlebihan yang dapat merusak ekosistem laut.
Lautan memang bentangan air tanpa pemilik, mereka yang hidup dari makan ikan tak akan pernah kelaparan saat samudera begitu penuh berisi ikan. Tapi bangsa penjarah tak pernah puas. Kita, tak pernah cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan kita akan pangan.
Kapal-kapal pukat harimau berlomba menangkap ikan sebanyak mungkin untuk memenuhi dompet-dompet mereka dengan uang, nelayan-nelayan kecil yang tersingkir oleh penjarahan kapal-kapal besar, mereka menggunakan bom-bom ikan yang merusak dan membunuh semua makhluk yang berada dalam jangkauan ledakan tanpa toleransi.
Selain menjaga pulau beliau pun merawat. Awalnya, Pulau Cangke masih kering kerontang. Hatinya terasa tak tega melihat kondisi alam yang rusak itu. Beliau pun mulai menanaminya dengan pohon pinus dan berbagai tumbuhan hijau lain. Hasilnya, kini setelah 40 tahun, Pulau Cangke telah berubah menjadi satu pulau yang hijau, bak hutan kecil di tengah laut. Beliau pun juga turut membantu ketika penyu-penyu bertelur. Telur penyu menetas saat berumur 47 hari dan setiap penyu bertelur paling sedikit 130 butir telur. Dari setiap penetasan telur penyu Daeng Abu hanya mendapatkan 300 ribu untuk semua lubang telur penyu dari pemerintah. Sebenarnya pemerintah memberikan 10 ribu perlubang. Beliau mengetahui kapan penyu – penyu itu bertelur ketika ada sisik – sisik penyu itu dipasir. Setiap bertelur induk penyu ditangkap oleh pukat harimau yang tidak bertanggung jawab, dan hanya mementingkan keuntungan pribadi.
Satu lagi kemampuan yang aku bisa banggakan dari beliau, beliau menguasai tiga bahasa yaitu: bahasa Makassar, bahasa Bugis, dan bahasa Indonesia. Dengan kemampuan itu beliau dapat berinteraksi kepada siapa saja yang mampir di pulau itu baik mahasiswa mau pun masyarakat sekitar.
makanan kita disana, asik kan ? |
Awalnya beliau mempunyai 6 orang anak, tetapi tuhan berkhendak lain. Hanya anak yang kelima masih hidup, anak yang lainnya telah meninggal dunia disebabkan oleh penyakit. Namun begitu, semangat untuk melestariakan Pulau Cangke tak pernah berkurang. Anak kelima beliau yang masih hidup bernama Pak Sakka dan sekarang bertempat tinggal di Pulau Pala yang tidak jauh dari Pulau Cangke. Pak Sakka menikah sejak dia berumur 11 tahun dikarenakan Daeng Abu telah membuatkan rumah untuk Pak Sakka.
Dulu aku kira Romeo dan Juliet pasangan paling romantis di dunia ini, tapi ternyata aku salah besar. Aku baru menyadari sejak aku mengenal pulau itu, mengenal Daeng Abu dan Daeng Te’ne bahwa mereka adalah pasangan paling sempurna di dunia yang pernah aku temui. Daeng Abu tak perlu bunga, coklat, atau perhiasan untuk meluluhkan hati Daeng Te’na, tetapi hanya gubuk kecil dan sebuah perahu. Walau hanya begitu mereka mampu hidup bersama selama 40 tahun. Dengan keadaan Daeng Abu yang tidak dapat melihat lagi, Daeng Te’na dengan setia menemaninya. Saat Daeng Abu mau merokok, Daeng Te’na membakarkan sebatang rokok. Tidak hanya sampi disitu saja, Daeng Te’na tetap disitu dan menjaga agar abu rokok yang jatuh itu tidak membakar sarung Daeng Abu. Sungguh itu pemandangan yang paling membuatku bahagia dan terharu. Mulai saat itu aku tidak akan berfikir untuk menjadi yang romantis, karena aku tidak akan bisa seperti mereka.
Hari terakhir aku dan teman-teman disana adalah hari yang menyedihkan karena harus bepisah dengan sapasang Romeo dan Juliet di Pulau Cangke. Tetesan air mata Daeng Abu membuat hatiku sangat berat untuk meninggalkan pulau itu. Aku telah benar-benar jatuh cinta kepada mereka. Saat perjalanan pulang sampai sekarang pun aku selalu bertanya-tanya kapan aku akan kembali lagi kesana dan melihat meraka.
By Jung Muhammad As'ad Ramlan
Ilmu Komunikasi
Universitas Hasanuddin
0 comment:
Posting Komentar