Pages

Selasa, 05 Juli 2011

Pulau Cangke Kembali Lagi Dengan Ceritanya



Perjalananku ke Pulau Cangke kali ini lebih tambah menyenangkan karena aku berangkat dengan teman – teman yang lebih banyak. Kami berangkat dengan 11 orang antara lain aku sendiri, Kak Madi, Kak Acho, Mubin, Ikki, Rey, Hajir, Vani, Ame’, Endhi , dan Vivi. Pulau Cangke membuatku kangen dengan susananya, dengan keindahannya, dengan kebersihannya, dan jauh dari keramaian. Aku juga tidak memungkirinya kalau aku juga kangen dengan dua sepasang kekasih di sana yaitu Daeng Abu dan Daeng Te’ne. Tanpa kehadiran mereka Pulau Cangke tidak akan seperti sekarang ini. Pulau Cangke akan gundul tanpa adanya pepohonan, sampah – sampah yang di bawa oleh ombak akan menghiasinya, dan mungkin tidak ada yang akan berkunjung kesana. Beberapa bulan setelah aku dari sana dan kembali lagi, Pulau Cangke tetap saja terlihat indah dengan putihnya pasir dan jernihnya air laut. Tak heran banayak orang yang pernah kesana, pasti mereka akan ingin kembali lagi kesana.  


Kami berangkat dari rumah Hajir dengan menggunakan angkot ke Pottere’. Kemudian dari Pottere’ kami menggunakan sebuah kapal kayu bermotor yang kecil. Kira – kira hampir 2 jam kami menunggu di kapal kayu tersebut untuk berangakat karena masih menunggu beberapa penumpang lagi. Dengan bau di Pottere’ yang sangat tidak sedap, kami tetap bersabar menunggu, membuktikan bahwa kami ini sekali ke Pulau Cangke dan beberapa  teman lain yang belum pernah kesana penasaran akan keindahanya.

Mesin kapal telah dinyalakan dan kapal pun siapa untuk berangkat, tetapi beberapa dari kami harus berada di dalam kapal agar kapal tidak terlalu goyang, termasuk aku, Kak Madi, Vani, Ame’, Endhi, dan Vivi. Suara mesin kapal yang sangat berisik memebuat kami yang di dalam merasakan hal yang kurang menyenangkan. Ditengah perjalanan ombak bertambah besar dan kapal juga bertambah goyang membuat temanku Vani mabuk laut. Dia merasakan pusing dan hampir mau muntah, tetapi dia langsung berbaring dan tertidur lumayan lama dari pada yang lain.


Setelah perjalan yang lumayan jauh kapal pun mampir di Pulau Karanrang untuk menurunkan beberapa penumpang . Akhrinya kami yang di dalam kapal pindah ke atas kapal dan bergabung dengan teman – teman yang lain. Pulau Cangke terlihat samar – samar dari kejauhan yang membuat kami bersemangat lagi. Makin lama keindahan Pulau Cangke makin terlihat di tambah lagi dengan matahari terbenam dan membuat langit menjadi berwarna orange yang sangat indah seakan turut menyambut kedatangan kami. Dengan begitu sudah terbayarlah semua pengorbanan kami selama diperjalan yang kurang menyenangkan. Mungkin baru kali ini aku melihat matahari terbenam seindah ini tanpa tertutupi awan sedikit pun. Aku terus melihat matahari itu sampai tidak terlihat lagi.   


Akhirnya kami semua sampai dengan selamat di Pulau Cangke, tapi sayang kita semua belum dapat melihat keindahan Pulau Cangke yang sebenarnya karena hari mulai gelap. Beberapa dari kami mendirikan tenda sedangkan yang lainnya menyaiapkan makan malam. Setelah makan malam kita semua menghabiskan malam di tepi pantai dan ditemani jutaan bintang yang kedap – kedip. Sambil menghangatkan badan di dekat api unngun buatan Ikki, kita semua bernyanyi dengan petikan gitarnya Kak Madi. Kebetulan malam itu dingin sekali, sehingga kita mengurungkan niat untuk berendam di laut.


Pagi harinya beberapa dari kami bangun pagi untuk melihat mathari terbit dan ternyata matahari belum juga terlihat karena tertutup awan. Setelah itu kami pun mempersiapkan sarapan pagi. Perut kami pun telah terisi, jadi kami langsung saja berendam ke laut. Pagi hari hingga siang kami menghabiskan waktu di laut untuk berenang dan berjemur, karena katanya matahri pagi itu baik untuk kesehatan.


Matahari mulai tinggi tapi cuaca tidak panas karena sepertinya mau hujan. Setelah puas berendam dan bereng di laut Aku, Mubin, dan Ame’ meminjam perahu Daeng Abu. Dengan senang hati Daeng Abu meminjamkan perahunya yang seharga sekitar 40 jutaan. Kami bertiga pun naik ke perahu dan mendanyungnya agak ketengah laut. Sesekali perahu hanya jalan berputar – putar karena mungkin kita mendayungnya kurang kompak atau mungkin juga kita belum terbiasa mendayung. Perahu pun mulai agak ketengah laut dan tiba-tiba saja perahu itu terbalik ke kiri, kita bertiga pun kaget dan jatuh kelaut. Sambil tertawa kita membalik kembali perahu itu dan membuang air yang ada di lambung perahu. Waktu itu kami sangat bersyukur sekali, karena perahu itu tidak terbalik di atas puluhan bulu babi yang berdada di depan kami. Inilah salah satu pengalaman kami di Pulau Cangke dan menurutku itu konyol.

Hari mulai sore kami pun mencari botol untuk membuat akuarium kecil. Kami saling bersaing untuk membuat akuarium kecil yang paling bagus. Rey sekali pun yang orangnya dibilang paling malas diantar kami, dia pun sangat bersemangat mengumpulkan kerang yang kecil –kecil dan terumbu karang yang telah hancur akibat ulah manusia yang tidak bertanggu jawab.  

Setelah kami sudah merasa leleh, kami pun foto-foto sambil menikmati matahari terbenam. Memang Pulau Cangke tempat yang indah, jauh dari keramaian, dan semuanya masih alami. Inilah yang membuatku rindu akan tempat ini dan tidak membuat bosan buatku.

0 comment:

Posting Komentar