Saat dimana kita bosan dengan
rutinitas kita sehari – hari. Saat dimana kita bosan dengan kegiatan – kegiatan
di kampus. Saat kita bosan dengan perkulihan yang hanya di dalam kelas. KKN
menjadi hal yang ditunggu – tunggu mahasiswa tingkat akhir seperti saya ini. Dimana
tempat lahirnya cerita, pengalaman, dan teman – teman baru. Pulau Miangas
menjadi salah satu pulau yang menjadi tempat tujuan KKN tahun ini setelah
pertamakali dilakukan Unhas tahun lalu. Cuma yang membedakan dengan KKN
sekarang terdiri dari 4 universitas
Makassar yaitu Unhas, UIN, UMI, dan UNM. Saya memilih pulau Miangas
karena saya ingin mengetahui bagaimana kehidupan sosial masyarakat perbatasan,
khususnya perbatasan paling utara Indonesia.
Setelah melakukan perjalanan yang
begitu panjang dan melelahkan, tibalah pada pulau tujuan kita, garda terdepan
Indonesia. Kami disambut dengan sangat antusian dengan warga dan juga TNI
penjaga perbatasan. Mereka sangat senang dengan kedatangan kami, walau pun
bukan itu saja yang membuat mereka senang, tetapi menunggu keluarga ataupun
sembako yang ikut bersama kami di kapal. Mungkin sudah berhari – hari mereka
telah kehabisan sembako, maklum jarak Pulau Mingas dengan ibukota kabupaten
begitu jauh. Memang tidak ada pasar disini, hanya toko – toko kecil yang ada.
Saat seperti itu dermaga pun berubah menjadi sangat ramai, masyarakat
berdatangan dari rumah meraka untuk mengambil barang pesanan dari Bitung.
Barang – barang yang telah kami
bawa dari Makassar telah diturunkan semua dari kapal, kami pun beranjak menuju
perkampungan. Tidak begitu terlihat jelas perbedaan dengan perkampungan pada
umumnya, saat berjalan kami diperhatikan warga dengan melambaikan senyum kepada
kami. Senyum mereka seakan menjadi obat lelah kami selama perjalanan yang
begitu jauh. Begitu indah rasanya melihat pemandangan seperti ini yang begitu
jarang kita temui di kota besar. Tibalah saya pada satu rumah semi permanen
yang sepertinya baru saja selesai dikerjakan. Kebetulan hanya saya dan Dirga
salah satu teman KKNku yang akan menjadi saudara serumahku di rumah itu. Di
depan rumah tersebut sudah ada dua orang tua yang menunggu kami dengan senyumannya.
Aser Essing itulah nama bapak yang akan menjadi orang tua kami selama di sini
dan semoga keluarga kami selamanya. Opa merupakan sapaan akrab kami yang hanya
tinggal berdua bersama istrinya yaitu Oma. Opa dan Oma sebenarnya mempunyai
anak, akan tetapi telah berkeluarga semua dan tinggal di rumah mereka masing –
masing sehingga mereka hanya tinggal berdua.
Setelah kami telah berkenalan
sedikit, Oma dan Opa mempersilahkan kami masuk ke kamar yang telah mereka
sediakan untuk menyimpan barang dan beristirahat. Kamar itu terlihat begitu
rapi dan bersih tampak belum ada yang menggunakan kamar itu sebelumnya. Ini
menjadi begitu spesial buat kami yang menggunakan kamar itu pertama kalinya.
Ranjang yang terbuat dari kayu dan diselimuti kelambu yang berwana merah muda,
kami berdua langsung tertawa kecil dan menduga bahwa Oma dan Opa mengira yang
akan tinggal di sini adalah anak perempuan. Tapi tidak masalah bagi kami, kami
sudah sangat bersyukur telah disediakan kamar dan ranjang yang beserta kelambu
merah mudanya. Mulai hari ini dan seterusnya kami akan tinggal di rumah ini
sehingga kami sepertinya perlu menambahkan nama marga Essing di belakang nama
kami menjadi Jung Essing dan Dirga Essing. Mungkin itu bukan hal yang serius,
tetapi itu menjadi pengharapan buat kami untuk menjadi keluarga yang
sesungguhnya.
Opa memang sudah sejak lama tidak
bekerja disebabkan oleh faktor usia yang mulai tua dan stamina yang mulai
menurun, tetapi semangatnya untuk bekerja tetap masih seperti dulu. Bayangkan saja rumahnya dibangunnya sendiri
walau hanya dikerja sedikit demi sedikit. Saat masih muda Opa memamang seorang
tukang bangunan yang handal. Sebelumnya Opa pernah mengerjakan bangunan gereja
dan masjid yang ada di sini, akan tetapi sampai sekarang gereja tersebut masih
dalam tahap pembangunan. Selain tukang bangunan Opa juga pernah bekerja di
Kantor Imigrasi Indonesia yang berada di Filipina. Mungkin itu yang membuat Opa
fasih berbahasa Filipina.
Sehari – hari Oma hanya menjadi
ibu rumah tangga seperti biasanya, memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Sesekali Oma menemani Opa ke kebun yang jaraknya begitu jauh dari rumah. Hal
tersebut membuatku iri pada mereka, waupun mereka sudah
lanjut usia, tetapi masih terlihat seperti muda mudi yang sedang jatuh cinta
dan selalu ingin berdua. Ketika malam hari sering saya melihat dari dalam rumah
mereka duduk berdua di depan teras rumah, mereka bercerita dan bercanda sambil
menikmati indahnya malam. Tidak banyak pasangan seperti mereka yang masih
romatis menurutku hingga usia tuanya.
Selama kurang lebih 3 minggu kami
tinggal di sana, begitu banyak cerita yang kami dapat dari Opa. Mulai dari
masalah - masalah yang terjadi di Pulau Miangas hingga tentang perempuan.
Setelah siang mulai menghilang dan malam telah datang, kami mempunyai kebiasaan
yang rutin untuk berkumpul di teras depan rumah. Ada satu kebiasan Opa yang
membuatku selalu tertawa yaitu ketika saat kami asyik mengobrol kemudian ada
teman teman kkn yang perempuan lewat, selalu saja Opa menggoda mereka untuk
mampir. Opa memang punya istilah sendiri buat teman temanku yang peremuan yaitu
“mujair”, aku sendri pun tidak tau apa artinya, yang jelas ketika Opa berbicara
tentang “mujair” aku sudah tau apa yang dimaksud. Tapi ketika Opa bercerita
tentang Nasionalisme membuat jantungku berdenyut lebih kencang. Opa memang
membenci pemerintah Indonesia yang kurang memperhatikan anak - anak Miangas,
tetapi Opa tetap mencintai Indonesia. Satu hal yang selalu Opa pesan kepada
kami, kelak ketika kami telah lulus dan menjabat didalam kepemerintahan, kami
tidak perlu mengingat Miangas, tapi ingatlah anak – anak yang ada di Miangas,
karena mereka juga dikemudian hari akan menjadi penerus Bangsa kedepannya.
Begitu banyak pelajaran yang kami
dapat dari kelauarga ini dan juga warga Miangas. Mereka mengajarkanku tetntang
arti bersyukur, bersyukur atas semua yang diberikan Tuhan kepada kami. Mereka
memang berada di tempat yang serba terbatas, tapi ketaatanya kepada Tuhan tidak
terbatas. Walau pun mereka ingin protes kepada pemerintah, tapi di mana mereka
harus bersuara. Media massa yang tidak ada dan teknologi komunikasi yang kurang
memadai menjadi penghalang mereka. Di daerah yang memiliki teknologi komunikasi
yang memedai saja, terkadang pemerintah juga tidak mendengarkan suara rakyat.
Semoga suatu saat saya akan pulang ke kampung halamanku yang baru ini.