Tata Mandong |
Seorang aktor yang berkomitmen
penuh terhadap peranannya di dalam masayakat, seseorang yang kita tidak sadari apa yang dia perankan, bukan
seseorang yang hidup dilayar lebar dan bukan pula seorang aktor hebat yang ahli
berakting. Tata Mandong seorang lelaki yang telah lanjut usia tinggal di Lembah
Ramma’ selama lebih 11 tahun. Tata merupakan sapaan akrabnya yang berarti bapak
dalam bahasa Makassar.
Lembah Ramma' |
Lembah Ramma’ berada di Desa Takappala, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Terletak pada titik koordinat 5° 17’’ 46’ LS dan 119° 55’’ 1’ BT. Dapat diakses dari Dusun Lembanna’ sekitar 6 KM dengan lama perjalanan sekitar 4-5 jam. Pria kelahiran 1 Juli 1937 ini adalah sosok sederhana yang mengajarkan kepada kita arti pentingnya peranan alam dalam dunia ini. Sudah bertahun – tahun beliau ditempatkan oleh Dinas Kehutanan untuk menjaga hutan dan aliran Sungai Jeneberang di Gunung Bawakaraeng, namun beliau tidak mau digaji sedikitpun. Beliau berfikir, bahwa kalau digaji, beliau tidak akan menjaga hutan lagi, tetapi hanya akan menjaga rumahnya sendiri dan bukan menjaga hutan lagi. Beliau memang tidak mementingkan gaji dan jaminannya, melainkan mementingkan keselamatan orang banyak. Kepuasan beliau adalah jika masyarakat dalam keadaan aman. Lagi pula beliau tidak khawatir kekurangan akan kebutuhan sehari – harinya, karena banyak para pendaki yang menyisakan sedikit rejekinya kepada beliau ketika beranjak pulang dari Lembah Ramma’ dan ada juga beberapa pendaki yang memang sengaja membawakan beberapa kebutuhan beliau seperti batrai senter, rokok, tabung gas portebel, dll.
Gunung Bawakaraeng merupakan
salah satu gunung yang ada di Sulawesi dengan ketinggian puncaknya sekitar 3845 m DPL. Letaknya berada di wilayah
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi
penting karena menjadi sumber penyimpanan air untuk Kabupaten Gowa, Kota
Makassar, Kabupaten Sunjai, Kabupeten Bantaeng, dan Kabupaten Bulukumba. Tata
Mandong percaya bahwa Gunung Bawakaraeng merupakan pusat dari dunia ini. Jika
pusatnya hancur maka dunia ini pun akan hancur. Ketika Gunung Bawakaraeng
rusak, maka di Makassar akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, begitu pula
Sulawesi, Indonesia, dan dunia.
Longsoran Gunung Bawakaraeng |
Beberapa tahun lalu, tepatnya
tanggal 26 Maret 2004 terjadi tragedi
longsor di Gunung Bawakaraeng dan menghancurkan Kecamatan Tinggimoncong dan
beberapa akses jalan dan desa sekitar. Lonsorang tersebut memiliki panjang
sekitar 30 KM dengan tembal diameter sekitar 400 – 500 m. Bekas longsoran
tersebut mengakibatkan daerah aliran sungai menjadi labil. Setiap musim hujan,
lumpur di kaki Gunung Bawakaraeng mengalir masuk ke Bendungan Bilibili,
bendungan ini merupakan bendungan terbesar di Sulawesi Selatan, yang menjadi
sumber air baku Kabupaten Gowa dan Kota Makassar. Lumpur juga mengalir masuk ke
sungai Jeneberang, sungai terbesar di Gowa yang membelah Sungguminasa ibu kota
Kabupaten Gowa serta membendung Kota Makassar di wilayah selatan. Hal itu
terjadi ketika kita menebang pohon yang menjadi paku – paku bagi tanah secara
berlebihan dan tidak mengadakan penanaman kembali. Pohon bukan saja menjadi
paku bagi tanah tetapi menghasilkan oksigen bagi manusia. Satu pohon dapat menghasilkan oksigen untuk
tiga orang. Kurangnya kesadaran beberapa pihak dapat membahayakan seluruh
orang. Pernah suatu ketika ada warga dari desa Panaikang, desa kampung halaman
beliau yang ingin membuka lahan untuk perkebunan kopi. Akan tetapi beliau tidak
mengizinkanya, jika lahan itu dibuka untuk perkebunan kopi, maka seluruh desa sekitarnya
akan kekurangan air dan juga sungai Jeneberang. Padahal sesorang yang ingin
membuka lahan tersebut adalah sepupu beliau sendiri. Beliau berkata siapa pun yang
salah walau pun itu keluarga sendiri atau kerabat, tetap saja dia salah. Hal
tersebut yang disadari betul oleh Tata Mandong membuatnya bertahan menjaga
hutan hingga akhir usianya.
Tata Mandong memainkan alat musik kecapi |
Gubuk kecil dengan ukuran sekitar
3 x 5 meter menjadi rumah baginya. Entah apa yang membuat beliau betah tinggal
di gubuk yang sesederhana ini. Tidak ada kamar , tempat tidur yang beralaskan
karpet dari daun kelapa kering yang telah dianyam, berselimutkan sarung,
memasak menggunakan kayu bakar, dan bercahayakan lampu pijar ketika malam hari.
Hal tersebut bukan menjadi alasan beliau untuk tidak merasa tidak nyaman untuk
dijadikan rumah tempat tinggal yang nyaman. Ketika malam datang dan memenuhi
semua ruangan, udara dingin terasa melekat ditubuh, hanya terdengar suara
anjing yang menggonggong. Sesekali beliau memainkan kecapinya agar dapat menghilangkan rasa sepinya. Segelas
kopi hitam yang hangat, dan beberapa lembar kertas papir yang digulung dengan
sabar dengan sedikit tembakau, lalu kemudian dihisapnya dengan perlahan menjadi
penghangat untuknya.
Suatu saat ketika beliau
meninggal dunia, beliau berpesan agar dimakamkan di Lembah Ramma’. Beliau
merasa bahwa ketika dimakamkan di kampung halamannya akan membuat orang lain
kesulitan membawa jasadnya, mengingat jarak Lembah Ramma’ sampai Panaikang
begitu jauh dan jalan yang dilewati begitu sulit. Batu nisa beliau akan menjadi
tanda untuk orang – orang yang berkunjung ke Lembah Ramma’ bahwa pernah ada seseorang yang tinggal
disini, yang begitu peduli pada
keberlangsungan hidup manusia.
Tata Mandong tidak akan hidup
selamanya di dunia, tidak selama mampu menjaga hutan Gunung Bawakaraeng, tetapi
ada pelajaran yang bisa kita petik dan disadari dari kisah hidup beliau yang
akan selalu ada. Kita tidak akan pernah sadar bahwa dunia ini tidak sedang baik
– baik saja, karena sifat keegoisan dan kerakusan ada pada diri kita. Mungkin
beberapa ratus tahun lagi peradaban manusia akan punah atau mungkin saja lebih
cepat dari itu, semua itu tergantung pada diri kita masing – masing. Bukan kita
saja yang hidup di dunia ini, tetepi masih akan banyak manusia yang hidup
setelah kita. Sekecil apa yang kita perbuat saat ini pasti akan berdampak
dikemudian hari. Pesan beliau kebaikan dunia berasal dari kebaikan hutan.
Semoga kita cepat sadar akan hal itu.