Pages

Kamis, 23 Oktober 2014

Keluarga Kecilku Di Ujung Utara Indonesia


Saat dimana kita bosan dengan rutinitas kita sehari – hari. Saat dimana kita bosan dengan kegiatan – kegiatan di kampus. Saat kita bosan dengan perkulihan yang hanya di dalam kelas. KKN menjadi hal yang ditunggu – tunggu mahasiswa tingkat akhir seperti saya ini. Dimana tempat lahirnya cerita, pengalaman, dan teman – teman baru. Pulau Miangas menjadi salah satu pulau yang menjadi tempat tujuan KKN tahun ini setelah pertamakali dilakukan Unhas tahun lalu. Cuma yang membedakan dengan KKN sekarang terdiri dari 4 universitas  Makassar yaitu Unhas, UIN, UMI, dan UNM. Saya memilih pulau Miangas karena saya ingin mengetahui bagaimana kehidupan sosial masyarakat perbatasan, khususnya perbatasan paling utara Indonesia.

Setelah melakukan perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan, tibalah pada pulau tujuan kita, garda terdepan Indonesia. Kami disambut dengan sangat antusian dengan warga dan juga TNI penjaga perbatasan. Mereka sangat senang dengan kedatangan kami, walau pun bukan itu saja yang membuat mereka senang, tetapi menunggu keluarga ataupun sembako yang ikut bersama kami di kapal. Mungkin sudah berhari – hari mereka telah kehabisan sembako, maklum jarak Pulau Mingas dengan ibukota kabupaten begitu jauh. Memang tidak ada pasar disini, hanya toko – toko kecil yang ada. Saat seperti itu dermaga pun berubah menjadi sangat ramai, masyarakat berdatangan dari rumah meraka untuk mengambil barang pesanan dari Bitung.

Barang – barang yang telah kami bawa dari Makassar telah diturunkan semua dari kapal, kami pun beranjak menuju perkampungan. Tidak begitu terlihat jelas perbedaan dengan perkampungan pada umumnya, saat berjalan kami diperhatikan warga dengan melambaikan senyum kepada kami. Senyum mereka seakan menjadi obat lelah kami selama perjalanan yang begitu jauh. Begitu indah rasanya melihat pemandangan seperti ini yang begitu jarang kita temui di kota besar. Tibalah saya pada satu rumah semi permanen yang sepertinya baru saja selesai dikerjakan. Kebetulan hanya saya dan Dirga salah satu teman KKNku yang akan menjadi saudara serumahku di rumah itu. Di depan rumah tersebut sudah ada dua orang tua yang menunggu kami dengan senyumannya. Aser Essing itulah nama bapak yang akan menjadi orang tua kami selama di sini dan semoga keluarga kami selamanya. Opa merupakan sapaan akrab kami yang hanya tinggal berdua bersama istrinya yaitu Oma. Opa dan Oma sebenarnya mempunyai anak, akan tetapi telah berkeluarga semua dan tinggal di rumah mereka masing – masing sehingga mereka hanya tinggal berdua.

Setelah kami telah berkenalan sedikit, Oma dan Opa mempersilahkan kami masuk ke kamar yang telah mereka sediakan untuk menyimpan barang dan beristirahat. Kamar itu terlihat begitu rapi dan bersih tampak belum ada yang menggunakan kamar itu sebelumnya. Ini menjadi begitu spesial buat kami yang menggunakan kamar itu pertama kalinya. Ranjang yang terbuat dari kayu dan diselimuti kelambu yang berwana merah muda, kami berdua langsung tertawa kecil dan menduga bahwa Oma dan Opa mengira yang akan tinggal di sini adalah anak perempuan. Tapi tidak masalah bagi kami, kami sudah sangat bersyukur telah disediakan kamar dan ranjang yang beserta kelambu merah mudanya. Mulai hari ini dan seterusnya kami akan tinggal di rumah ini sehingga kami sepertinya perlu menambahkan nama marga Essing di belakang nama kami menjadi Jung Essing dan Dirga Essing. Mungkin itu bukan hal yang serius, tetapi itu menjadi pengharapan buat kami untuk menjadi keluarga yang sesungguhnya.


Opa memang sudah sejak lama tidak bekerja disebabkan oleh faktor usia yang mulai tua dan stamina yang mulai menurun, tetapi semangatnya untuk bekerja tetap masih seperti dulu.  Bayangkan saja rumahnya dibangunnya sendiri walau hanya dikerja sedikit demi sedikit. Saat masih muda Opa memamang seorang tukang bangunan yang handal. Sebelumnya Opa pernah mengerjakan bangunan gereja dan masjid yang ada di sini, akan tetapi sampai sekarang gereja tersebut masih dalam tahap pembangunan. Selain tukang bangunan Opa juga pernah bekerja di Kantor Imigrasi Indonesia yang berada di Filipina. Mungkin itu yang membuat Opa fasih berbahasa Filipina.

Sehari – hari Oma hanya menjadi ibu rumah tangga seperti biasanya, memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Sesekali Oma menemani Opa ke kebun yang jaraknya begitu jauh dari rumah. Hal tersebut membuatku iri pada mereka, waupun mereka sudah lanjut usia, tetapi masih terlihat seperti muda mudi yang sedang jatuh cinta dan selalu ingin berdua. Ketika malam hari sering saya melihat dari dalam rumah mereka duduk berdua di depan teras rumah, mereka bercerita dan bercanda sambil menikmati indahnya malam. Tidak banyak pasangan seperti mereka yang masih romatis menurutku hingga usia tuanya.

Selama kurang lebih 3 minggu kami tinggal di sana, begitu banyak cerita yang kami dapat dari Opa. Mulai dari masalah - masalah yang terjadi di Pulau Miangas hingga tentang perempuan. Setelah siang mulai menghilang dan malam telah datang, kami mempunyai kebiasaan yang rutin untuk berkumpul di teras depan rumah. Ada satu kebiasan Opa yang membuatku selalu tertawa yaitu ketika saat kami asyik mengobrol kemudian ada teman teman kkn yang perempuan lewat, selalu saja Opa menggoda mereka untuk mampir. Opa memang punya istilah sendiri buat teman temanku yang peremuan yaitu “mujair”, aku sendri pun tidak tau apa artinya, yang jelas ketika Opa berbicara tentang “mujair” aku sudah tau apa yang dimaksud. Tapi ketika Opa bercerita tentang Nasionalisme membuat jantungku berdenyut lebih kencang. Opa memang membenci pemerintah Indonesia yang kurang memperhatikan anak - anak Miangas, tetapi Opa tetap mencintai Indonesia. Satu hal yang selalu Opa pesan kepada kami, kelak ketika kami telah lulus dan menjabat didalam kepemerintahan, kami tidak perlu mengingat Miangas, tapi ingatlah anak – anak yang ada di Miangas, karena mereka juga dikemudian hari akan menjadi penerus Bangsa kedepannya.


Begitu banyak pelajaran yang kami dapat dari kelauarga ini dan juga warga Miangas. Mereka mengajarkanku tetntang arti bersyukur, bersyukur atas semua yang diberikan Tuhan kepada kami. Mereka memang berada di tempat yang serba terbatas, tapi ketaatanya kepada Tuhan tidak terbatas. Walau pun mereka ingin protes kepada pemerintah, tapi di mana mereka harus bersuara. Media massa yang tidak ada dan teknologi komunikasi yang kurang memadai menjadi penghalang mereka. Di daerah yang memiliki teknologi komunikasi yang memedai saja, terkadang pemerintah juga tidak mendengarkan suara rakyat. Semoga suatu saat saya akan pulang ke kampung halamanku yang baru ini.