Pages

Rabu, 09 April 2014

MAPASILAGA TEDONG






Malam sudah hampir mulai larut, sekitar setangah jam lalu kami telah meninggalkan Kota Makassar tepatnya tanggal 8 Januari 2014. Sebagian dari kami mungkin tidak akan kaget dengan tempat yang akan dituju kali ini. Toraja, masih sangat teringat jalas sekali terakhir kali aku ke sana waktu beberapa bulan yang lalu. Kota yang terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan, dan ukiran kayu. Lama perjalanan yang ditempuh dari Makassar ke Toraja selama kurang lebih 8 jam. Melewati beberapa kabupaten seperti Maros, Pangkep, Barru, Kota Pare – Pare, Sidrap, hingga terakhir Enrekang. Setelah melewati jalan yang begitu membosankan dari Makassar hingga Pare – Pare, kita akan disuguhkan dengan jalan yang mulai membuat kita sedikit terayun – ayun. Hingga sampailah kita di Kabupaten Enrekang. Sepanjang jalan poros Enrekang Toraja kita akan ditawarkan berbagai tempat istirahat dengan pesona alam pegunungan ala Enrekang. Kami pun berhentin disalah satu tempat untuk merenggangkan kaki ataupun matahari terbit. Cahaya berwarna jingga pun mulai melewati celah – celah perbukitan yang dikelilingi benda yang menyerupai kapas membuat kita enggan untuk beranjak dari tempat itu. Sampailah sang fajar benar – benar menampakkan dirinya kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan kami masih saja ditemani dengan pesona alam yang begitu indah, walaupun jalan  yang kita lewati terlihat seperti ular hitam yang begitu besar. Bangunan – bangunan yang atapnya berbentuk menerupai perahu mulai sering terlihat menandakan kita telah sampai di Kabupaten Tana Toraja. Setelah melewati jarak yang begitu jauh dan melelahkan kami pun beristirahat di rumah salah satu teman kami.


Tidak mau hanya menghabiskan waktu untuk beristirahat kami mulai bergegas menuju acara pemakaman. Kebetulan salah satu keluarga teman kami sedang mengadakan acara pemakaman jenazah keluarganya. Sesampai kita di tempat acara pemakaman, sangat terasa duka menyelimuti orang – orang di sana. Saya pun melihat tempat – tempat untuk para tamu yang dihiasi corak – corak ala Toraja. Kami langsung saja dipersilahkan duduk dan beristirahat sejenak sambil menunggu adu kerbau.

Mapasilaga tedong atau adu kerbau merupakan salah satu bagian dari proses acara rambu solo atau acara pemakaman. Sesaat menjelang adu kerbau dimulai terlebih dahulu panitia akan menyerahkan daging babi yang telah dibakar, rokok, dan tuak kepada para pemandu kerbau dan para tamu. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan prosesi adu kerbau yang diselenggarakan di sawah. Begitu banyak orang yang rela datang hujan – hujanan mengelilingi pematang sawah hanya untuk menikmati adu kerbau.   Jantung saya bedetak sangat kencang ketika melihat dua ekor kerbau besar yang sedang beradu. Mungkin kerena baru pertama kalinya saya melihat acara seperti ini. 


Kalau Spanyol bangga dengan budaya adu bantengnya, saya bangga dengan Indonesia dengan adu kerbau. Inilah mengapa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang ada di dalamnya. Kalau bukan kita yang bangga terhadap budaya kita, lalu siapa lagi?