Malam sudah hampir mulai larut,
sekitar setangah jam lalu kami telah meninggalkan Kota Makassar tepatnya
tanggal 8 Januari 2014. Sebagian dari kami mungkin tidak akan kaget dengan
tempat yang akan dituju kali ini. Toraja, masih sangat teringat jalas sekali
terakhir kali aku ke sana waktu beberapa bulan yang lalu. Kota yang terkenal
akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan, dan ukiran kayu. Lama perjalanan
yang ditempuh dari Makassar ke Toraja selama kurang lebih 8 jam. Melewati beberapa
kabupaten seperti Maros, Pangkep, Barru, Kota Pare – Pare, Sidrap, hingga
terakhir Enrekang. Setelah melewati jalan yang begitu membosankan dari Makassar
hingga Pare – Pare, kita akan disuguhkan dengan jalan yang mulai membuat kita
sedikit terayun – ayun. Hingga sampailah kita di Kabupaten Enrekang. Sepanjang
jalan poros Enrekang Toraja kita akan ditawarkan berbagai tempat istirahat
dengan pesona alam pegunungan ala Enrekang. Kami pun berhentin disalah satu
tempat untuk merenggangkan kaki ataupun matahari terbit. Cahaya berwarna jingga
pun mulai melewati celah – celah perbukitan yang dikelilingi benda yang
menyerupai kapas membuat kita enggan untuk beranjak dari tempat itu. Sampailah
sang fajar benar – benar menampakkan dirinya kami pun bergegas untuk melanjutkan
perjalanan. Sepanjang jalan kami masih saja ditemani dengan pesona alam yang
begitu indah, walaupun jalan yang kita
lewati terlihat seperti ular hitam yang begitu besar. Bangunan – bangunan yang
atapnya berbentuk menerupai perahu mulai sering terlihat menandakan kita telah
sampai di Kabupaten Tana Toraja. Setelah melewati jarak yang begitu jauh dan
melelahkan kami pun beristirahat di rumah salah satu teman kami.
Tidak mau hanya menghabiskan
waktu untuk beristirahat kami mulai bergegas menuju acara pemakaman. Kebetulan
salah satu keluarga teman kami sedang mengadakan acara pemakaman jenazah
keluarganya. Sesampai kita di tempat acara pemakaman, sangat terasa duka
menyelimuti orang – orang di sana. Saya pun melihat tempat – tempat untuk para
tamu yang dihiasi corak – corak ala Toraja. Kami langsung saja dipersilahkan
duduk dan beristirahat sejenak sambil menunggu adu kerbau.
Mapasilaga tedong atau adu kerbau merupakan salah satu bagian dari
proses acara rambu solo atau acara pemakaman. Sesaat menjelang adu kerbau
dimulai terlebih dahulu panitia akan menyerahkan daging babi yang telah
dibakar, rokok, dan tuak kepada para pemandu kerbau dan para tamu. Setelah itu
langsung dilanjutkan dengan prosesi adu kerbau yang diselenggarakan di sawah.
Begitu banyak orang yang rela datang hujan – hujanan mengelilingi pematang
sawah hanya untuk menikmati adu kerbau.
Jantung saya bedetak sangat kencang ketika melihat dua ekor kerbau besar
yang sedang beradu. Mungkin kerena baru pertama kalinya saya melihat acara seperti
ini.
Kalau Spanyol bangga dengan
budaya adu bantengnya, saya bangga dengan Indonesia dengan adu kerbau. Inilah
mengapa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang ada di dalamnya. Kalau bukan
kita yang bangga terhadap budaya kita, lalu siapa lagi?